Senin, 16 Oktober 2006

TO GIVE OR TO GET

Seorang pebisnis muda datang mengadukan masalahnya kepada sahabat saya yang berprofesi sebagai konsultan spiritual bisnis. Pebisnis itu membuka masalahannya dengan mengatakan, "Pak saya memiliki adik yang sangat durhaka. Ketika kuliah saya yang membiayai. Ketika dia menikah saya yang menikahkan dan menanggung semua biayanya. Sekarang berbekal satu kwitansi atas namanya, dia akan menggugat saya ke pengadilan. Dalam gugatannya ia mengatakan rumah yang saya tempati adalah milik adik saya." Pebisnis muda itu diam sejenak sambil menarik napas panjang.

Kemudian dia meneruskan ceritanya, "Padahal rumah itu saya beli dengan tetesan keringat saya. Saya nggak habis pikir, mengapa dia tega melakukan ini. Saya minta petunjuk dari Bapak bagaimana menundukkan adik saya. Saya ingin agar adik saya sadar dan tidak usah membawa permasalahan itu ke pengadilan. Saya malu dengan banyak orang."

Kemudian konsultan bertanya, "Dari mana uang yang kamu gunakan untuk membangun rumahmu?"
Orang itu menjawab, "Dari hasil jerih payah usaha saya. Saya pernah punya usaha pom bensin tapi sekarang sudah bangkrut."

Terus darimana modal usaha pom bensinmu? desak sang konsultan. Dia terdiam.
Setelah menarik nafas panjang, dia berkata , "Modal usaha pom bensin saya peroleh dari hasil penjualan tanah milik ibu saya. Saya jual tanah itu tanpa izin ibu saya. Ibu saya kecewa, tak lama setelah kejadian itu ibu saya dipanggil Yang Maha Kuasa."

"Itulah sebab musabab problem anda. Memulai usaha dengan uang yang tidak bersih bahkan dengan cara menyakiti ibu kandung anda. Ironisnya, anda belum sempat meminta maaf kepada ibu anda dan dia sudah meninggal dunia," jawab sang konsultan.

"Terus bagaimana saya selanjutnya?" kata orang itu.
Konsultan energik itu menjawab, "Ikhlaskan rumah itu buat adik anda. Kehidupan anda tidak akan berkah dengan rumah yang merupakan buah dari menyakiti ibu anda."

Butiran jernih mengalir di pipi orang itu. Dengan nada tersengal dia berkata, "Lalu dimana keluarga saya harus berteduh?
Sang konsultan menjawab, "Allah , Tuhan Penguasa Alam Maha Kaya, pasti ada jalan yang akan Dia berikan."

Sesampainya di rumah sang kakak memanggil adiknya,
"Adikku daripada kita bertengkar di pengadilan dan hubungan persaudaraan kita rusak hanya karena rumah ini, aku serahkan rumah ini untukmu. Aku ikhlas. Rumah ini sebenarnya milik ibu, bukan milik saya. Mulai hari ini, rumah ibu ini aku serahkan sepenuhnya untukmu."
Sang adik berdiri dan kemudian memeluk sang kakak sambil berkata, "Kakakku, rumah ini adalah rumahmu maka ambilah. Saya tidak akan meneruskan di pengadilan. Tinggalah dengan damai di rumah ini bersama istri dan anak-anak kakak. Saya bangga menjadi adikmu. Saya tak ingin kehilangan engkau kakakku..."
Keduanya berpelukan dengan linangan air mata di masing-masing pipinya.

Kisah nyata di atas memberi pelajaran kepada kita bahwa ketika kita berpikir apa yang akan saya dapatkan (to get) maka yang kita peroleh adalah kegelisahan dan permusuhan.
Sebaliknya ketika kita berpikir apa yang bisa saya berikan (to give) maka yang kita peroleh kedamaian, rasa hormat, rasa cinta dan persaudaraan.

Tatkala kita berpikir to get pada hakekatnya kita masih terjajah.
Terjajah oleh harta, terjajah oleh jabatan, terjajah oleh kepentingan dan terjajah oleh gengsi.

Orang-orang yang merdeka adalah orang yang di dalam dirinya tertanam kuat sikap to give.
Bila ia memiliki harta, ilmu dan karunia lainnya ia selalu berpikir kepada siapa lagi saya harus berbagi... berbagi...dan berbagi.

Negeri ini akan terus tumbuh, berkembang, maju dengan diselimuti kedamaian, rasa cinta, persaudaraan, dan kemulian bila sebagian besar diantara kita mengembangkan sikap to give ketimbang to get.
Kita semua harus selalu berpikir, apa yang sudah saya berikan buat anak, mitra kerja, perusahaan, pasangan hidup, saudara, orang tua, bangsa dan Sang Maha Pencipta? Pertanyaan itu harus selalu tertanam kuat dalam setiap aktivitas kita sehari-hari.

Jangan kedepankan to get dalam sikap keseharian kita.
Pada saat sebagian besar orang memiliki sikap to give, kita sudah boleh mengatakan bahwa kita memang sudah MERDEKA.

Minggu, 08 Oktober 2006

PAKIS dan BAMBU

Suatu Hari aku memutuskan untuk berhenti.
Berhenti dari pekerjaanku, berhenti dari hubunganku dengan sesama dan berhenti dari spiritualitasku. Aku pergi ke hutan untuk bicara dengan Tuhan untuk yang terakhir kalinya.
"Tuhan", kataku. "berikan aku satu alasan untuk tidak berhenti?"

Dia memberi jawaban yang mengejutkanku.
"Lihat ke sekelilingmu", kataNya. "Apakah engkau memperhatikan tanaman pakis Dan bambu yang Ada dihutan ini?"

"Ya", jawabku.

Lalu Tuhan berkata, "Ketika pertama kali Aku menanam mereka, Aku menanam dan merawat benih-benih mereka dengan seksama. Aku beri mereka cahaya, Aku beri mereka air. Pakis-pakis itu tumbuh dengan sangat cepat warna hijaunya yang menawan menutupi tanah namun, tidak Ada yang terjadi dari benih bambu tapi Aku tidak berhenti merawatnya."

"Dalam tahun kedua, pakis-pakis itu tumbuh lebih cepat dan lebih banyak lagi. Namun, tetap tidak Ada yang terjadi dari benih bambu tetapi Aku tidak menyerah terhadapnya."

"Dalam tahun ketiga tetap tidak Ada yang tumbuh dari benih bambu itu tapi Aku tetap tidak menyerah begitu juga dengan tahun ke empat. "

"Lalu pada tahun ke lima sebuah tunas yang kecil muncul dari dalam tanah bandingkan dengan pakis, itu kelihatan begitu kecil dan sepertinya tidak berarti. Namun enam bulan kemudian, bambu ini tumbuh dengan mencapai ketinggian lebih dari 100 kaki. Dia membutuhkan waktu lima tahun untuk menumbuhkan akar-akarnya. Akar-akar itu membuat dia kuat dan memberikan apa yang dia butuhkan untuk bertahan. Aku tidak akan memberikan ciptaanku tantangan yang tidak bisa mereka tangani. "

"Tahukah engkau anakKu, dari semua waktu pergumulanmu, sebenarnya engkau sedang menumbuhkan akar-akarmu? Aku tidak menyerah terhadap bambu itu Aku juga tidak akan pernah menyerah terhadapmu. "

Tuhan berkata "Jangan bandingkan dirimu dengan orang lain. Bambu-bambu itu memiliki tujuan yang berbeda dibandingkan dengan pakis tapi keduanya tetap membuat hutan ini menjadi lebih indah."

"Saatmu akan tiba", Tuhan mengatakan itu kepadaku. "Engkau akan tumbuh sangat tinggi"

"Seberapa tinggi aku harus bertumbuh Tuhan?" tanyaku.

"Sampai seberapa tinggi bambu-bambu itu dapat tumbuh?" Tuhan balik bertanya.

"Setinggi yang mereka mampu?" Aku bertanya

"Ya." jawabNya, "Muliakan Aku dengan pertumbuhanmu, setinggi yang engkau dapat capai."

Lalu aku pergi meninggalkan hutan itu, menyadari bahwa Allah tidak akan pernah menyerah terhadap aku dan Dia juga tidak akan pernah menyerah terhadap anda. Jangan pernah menyesali hidup yang saat ini Anda jalani sekalipun itu hanya untuk satu Hari.

Hari-Hari yang baik memberikan kebahagiaan ;
Hari-Hari yang kurang baik memberi pengalaman ;
Kedua-duanya memberi arti bagi kehidupan ini.