Kamis, 21 Agustus 2008

MENUNTUT

"Menuntut" sudah menjadi sebuah gaya hidup yang sangat biasa kita lakukan.

Di gereja, kita "menuntut" seorang pembicara yang humoris dan menyenangkan. Kita menuntut suasana gereja yang tenang atau penuh energi saat penyembahan / paduan suara. Kita "menuntut" sarana gereja harus baik (tempat parkir harus luas, jalan harus gampang, ruang gereja harus ber-AC, jalan naik ke ruang gereja harus lewat lift / elevator, harus ada acara makan-makan - minimal menu Eropa atau Jepang - kalo acara gereja lebih dari 2 jam). Kalau tidak, minggu depan kita akan pindah ke gereja lain.

Pada Tuhan, kita "menuntut" pasangan hidup yang sempurna, yang mau memahami kita, yang seiman dengan kita. Kita "menuntut" diberi kehidupan yang baik, kaya, punya harta yang banyak. Kita "menuntut" Tuhan memberikan kelancaran pada bisnis kita, biar kangtaw selalu lancar dan banyak. Kita "menuntut" Tuhan selalu mendengar doa kita. Tidak jarang, agar "tuntutan-tuntutan" didengar Tuhan, kita bersikap bak anak umur 3 tahun : MENANGIS SEKENCANG-KENCANGNYA !!! Baik sambil berdoa, maupun bernyanyi (bahkan tidak jarang sampai pukul2 dada, meratap, mohon ampun sambil bersujud, meloncat-loncat, atau menggeleng-geleng kepala kayak orang kerasukan / trance). Saya suka ketawa jika lihat orang seperti itu. Jadi ingat anak saya yang berumur 3 tahun. Kalo permintaannya tidak dituruti, dia akan menangis sekencang-kencangnya, dan bertanya, "Mengapa Papa tidak membelikan saya permen? Mengapa Papa sejahat itu? Mengapa Papa tidak sayang saya lagi?" Ya... begitulah kita !!!! Gak jauh beda ya dengan anak umur segitu?

Di kantor, kita "menuntut" perusahaan memberikan fasilitas yang "layak" (komputer keluaran terbaru dengan kapasitas RAM, DDR, Harddisk yang paling besar, Motherboard yang super canggih, layar plasma atau flat berukuran 29" (kalo ada), jaringan LAN / WAN yang 'ces-leng' (yang gak pernah putus connection internet-nya), fasilitas mobil dari kantor, rumah, gaji yang tinggi dan pasti / wajib selalu naik minimal 50%, ruang kantor yang mewah dengan AC baru yang masih sejuk, bla-bla-bla). Kalau tidak dapat, kita akan kerja asal-asalan dan ogah-ogahan. Gak lama, keluar dan cari gawe lain yang bisa memberikan fasilitas yang kita inginkan.

Di lingkungan sekitar, kita "menuntut" banyak hal pada lingkungan. Kita menuntut pemerintah menurunkan harga BBM. Kita menuntut Pemerintah Daerah menaikkan Upah Minimum Regional dan Daerah. Kita menuntut pengadilan menghukum Jaksa Agung yang korup. Kita menuntut negara membubarkan Ahmadiah. Kekerasan menjadi pilihan ketika "tuntutan" kita tidak didengar. Kita pun sering "menuntut" pemerintah untuk memperhatikan sarana dan prasarana (jalan, selokan, penerangan, dll). Biar kalo banjir, rumah gak kebanjiran. Listrik jangan byar-pet aja. Air PAM ngocor terus. Tapi omong-omong.... sudah bayar pajak (PPh, PBB, PPN, Pajak Kebersihan, Pajak Sampah, Pajak Keamanan, dan Pajak2 lain) belom? Listrik dibayar sesuai gak? Nyuri listrik tetangga gak? Manipulasi meteran gak?

HARGA YANG HARUS DIBAYAR
Yang menyedihkan (sekaligus menyebalkan), kita sering lupa bahwa apa yang kita tuntut selalu ada harga yang harus dibayar. Tidak ada yang gratis. Kita bisa menuntut Gereja punya fasilitas yang baik. Kita menuntut gereja lebih perduli pada kita. Tapi apa kontribusi Anda pada gereja? Sudah aktif dalam persekutuan? Ikut perlawatan? Ada ngasih sumbangan? Ngasih bantuan dana pada pembangunan gereja, sekolah alkitab, pengembangan program gereja? Perpuluhan gimana? Lancar? Ngasih lebih atau benar-benar PAS sepuluh persen, atau malah kurang 1%? Atau hanya 2.5%, seperti rekan-rekan kita non-Kristen?

Begitu juga ketika kita berdoa pada Bapa. Kita selalu "menuntut" doa kita dijawab. Saya yakin, pada saat kita minta, Bapa pasti dan mampu menjawab langsung doa kita. Tapi sebelumnya, Dia akan selalu bertanya, "Apa yang bisa kau lakukan pada-Ku?"

Ya.... Tidak hanya Tuhan dan Gereja, tetapi di mana pun. Ketika kita menuntut sesuatu, pasti ada harga yang harus kita bayar dan semuanya harus KONTAN. Sudah bukan rahasia lagi bahwa di dunia ini berlaku hukum ekonomi bahwa "Harga gak bohong". Artinya, ketika menuntut barang atau perlakukan yang terbaik, kita sudah harus tahu bahwa ada harga yang cukup tinggi yang harus kita bayar dulu sebelum tuntutan kita terpenuhi.
Seorang rekan saya, baru-baru ini mendatangi pimpinan dan mengeluh karena fasilitas yang dia peroleh sangat minim, sehingga dia tidak bisa produktif. Pimpinan saya dengan arif bertanya padanya, "Fasilitas apa sebenarnya yang Anda butuhkan?"

Dengan berapi-api, rekan saya berkata," Gini, Pak. Saya kan Marketing. Bapak tahu mobilitas saya tinggi. Maka saya butuh laptop agar tiap kali komunikasi, saya bisa langsung update ke kantor. Saya juga butuh hp. Yang 3G, punya foto, blue-tooth, dan punya koneksi internet yang cepat. Jadi kalo ada produk yang dibutuhkan Buyer, saya tinggal foto, dan kirim pada divisi lain untuk di-follow up. Semuanya jadi bisa sangat cepat. Saya juga butuh pulsa tidak terbatas, agar informasi yang saya berikan tidak terhenti dan terus ter-update. Gitu aja, Pak. Sebenarnya saya "bisa" kerja lebih efektif buat Bapak JIKA fasilitas itu terpenuhi."

Pimpinan saya tersenyum, "Oke kalo gitu. Gak masalah. Dua hari ini akan saya siapkan. Tapi pertanyaan saya : berapa omset yang BISA Anda berikan bagi perusahaan setelah ada fasilitas itu?"

"Belum tahu, Pak. Selama fasilitas belum ada, saya belum bisa memberikan komitmen omset buat Bapak."

"Berapa klien yang BISA Anda berikan bagi perusahaan."

"Belum tahu, Pak. Kan...."

"Oke... oke. Berapa efektif Anda BISA bekerja buat saya? Anda siap setiap saat saya butuh Anda? Anda mampu bekerja 24 jam bersama saya? Anda bisa hadir kapan pun dan di mana pun saya butuhkan?"

"Oh... eh... itu..., "rekan saya jadi ragu. "Susah ya, Pak. Kan saya manusia seperti Bapak. Saya punya kehidupan pribadi. Butuh istirahat. Butuh sosialisasi. Jadi gak mungkin waktu saya semua untuk perusahaan."

Pimpinan saya tertawa. "Jadi apa dong kontribusi kamu buat perusahaan? Ini gak bisa, itu gak mau, ini-itu gak tahu. Bisanya minta melulu."

INILAH KITA....
Ya... inilah gambaran kita. Kita sering kali bisanya menuntut saja. Tapi ketika diminta "membayar" harga untuk tuntutan itu, kita gak bisa dan gak mau. Jadi bisanya apa dong?

Beberapa waktu lalu, mungkin Anda juga dengan para pekerja perusahaan rokok terbesar di Jawa Timur demo karena minta uang jasa pada perusahaannya. Padahal uang jasa itu diberikan pada karyawan yang telah bekerja lebih dari 5 tahun dan mengajukan pengunduran diri (sesuai UU Tenaga Kerja No. 13 tahun 1991). Mengapa perusahaan tidak memberikan uang jasa? Karena, jika uang jasa diberikan, artinya perusahaan melakukan PHK massal. Jika para pekerja menuntut uang jasa diberikan, artinya mereka siap mengundurkan diri. Pertanyaan : Apa mereka sudah benar-benar siap? Rasanya cukup bodoh jika mereka harus melepas mata pencarian tetap yang senilai minimal Rp 600 ribu / bulan hanya demi uang jasa sebesar Rp 300 ribu yang hanya akan mereka terima satu kali untuk selamanya.

Pada Tuhan pun sama. Yang belum menikah seringkali berdoa minta Tuhan memberikan jodoh yang "sempurna". Tapi kita tidak pernah sadar, apakah kita sendiri sudah sempurna? Kita menuntut calon kekasih kita adalah orang yang takut pada Tuhan dan mencintai kita sepenuh hati. Kita sendiri gimana? Sudah takut pada Tuhan? Sudah perduli sepenuh hati pada sesama, atau hanya sekedar melaksanakan "tugas pelayanan"? Yakin sudah melaksanakan sepenuh hati? Coba sebutkan nama 10 orang yang Anda layani dalam minggu ini. Apa masalah dan harapan mereka? Bagaimana kehidupan keluarganya? Anggota keluarganya sudah percaya Tuhan semua? Mereka sudah Anda doakan dan bawa dalam doa shafaat harian? Semuanya? Setiap hari?

Jika kita saja tidak mampu "membayar" apa yang kita tuntut pada Tuhan, apa mungkin Tuhan memberikan sesuai yang kita mau? Karena itulah, kita selalu diajar untuk meminta "sesuai kehendak-Nya", karena kita sendiri tidak mampu "membayar" apa yang kita "tuntut" pada Tuhan.

Janganlah menjadi orang yang bisanya menuntut saja. Ingatlah, ketika kita menuntut sesuatu - entah apapun dan pada siapapun - ada harga yang harus kita bayar. Jika Anda pasti bisa membayarnya, niscaya, tuntutan Anda akan didengar dan langsung dijalankan. Tapi jika tidak mampu.... jangan harap tuntutan Anda didengar.

Tuhan memberkati.
GBU, Constantine.

Selasa, 12 Agustus 2008

LOMPATAN SI BELALANG

Di suatu hutan, hiduplah seekor belalang muda yang cerdik. Belalang muda ini adalah belalang yang lompatannya paling tinggi diantara sesama belalang yang lainnya. Belalang muda ini sangat membanggakan kemampuan lompatannya ini. Sehari-harinya belalang tersebut melompat dari atas tanah ke dahan-dahan pohon yang tinggi, dan kemudian makan daun-daunan yang ada di atas pohon tersebut. Dari atas pohon tersebut belalang dapat melihat satu desa di kejauhan yang kelihatannya indah dan sejuk. Timbul satu keinginan di dalam hatinya untuk suatu saat dapat pergi kesana.

Suatu hari, saat yang dinantikan itu tibalah. Teman setianya, seekor burung merpati, mengajaknya untuk terbang dan pergi ke desa tersebut. Dengan semangat yang meluap-luap, kedua binatang itu pergi bersama ke desa tersebut. Setelah mendarat mereka mulai berjalan-jalan melihat keindahan desa itu. Akhirnya mereka sampai di suatu taman yang indah berpagar tinggi, yang dijaga oleh seekor anjing besar. Belalang itu bertanya kepada anjing,"Siapakah kamu, dan apa yang kamu lakukan disini ?" "Aku adalah anjing penjaga taman ini. Aku dipilih oleh majikanku karena aku adalah anjing terbaik di desa ini" jawab anjing dengan sombongnya. Mendengar perkataan si anjing, panaslah hati belalang muda. Dia lalu berkata lagi "Hmm, tidak semua binatang bisa kau kalahkan. Aku menantangmu untuk membuktikan bahwa aku bisa mengalahkanmu. Aku menantangmu untuk bertanding melompat, siapakah yang paling tinggi diantara kita". "Baik", jawab si anjing. "Di depan sanaada pagar yang tinggi. Mari kita bertanding, siapakah yang bisa melompati pagar tersebut".

Keduanya lalu berbarengan menuju ke pagar tersebut. Kesempatan pertama adalah si anjing. Setelah mengambil ancang-ancang, anjing itu lalu berlari dengan kencang, melompat, dan berhasil melompati pagar yang setinggi orang dewasa tersebut tersebut. Kesempata n berikutnya adalah si belalang muda.Dengan sekuat tenaga belalang tersebut melompat. Namun ternyata kekuatan lompatannya hanya mencapai tiga perempat tinggi pagar tersebut, dan kemudian belalang itu jatuh kembali ke tempatnya semula. Dia lalu mencoba melompat lagi dan melompat lagi, namun ternyata gagal pula.

Si anjing lalu menghampiri belalang dan sambil tertawa berkata ,"Nah belalang, apa lagi yang mau kamu katakan sekarang ? Kamu sudah kalah"."Belum", jawab si belalang. "Tantangan pertama tadi kamu yang menentukan. Beranikah kamu sekarang jika saya yang menentukan tantangan kedua ?" "Apapun tantangan itu, aku siap" tukas si anjing. Belalang lalu berkata lagi, "Tantangan kedua ini sederhana saja. Kita berlomba melompat di tempat. Pemenangnya akan diukur bukan dari seberapa tinggi dia melompat, dari diukur dari lompatan yang dilakukan tersebut berapa kali tinggi tubuhnya".

Anjing kembali yang mencoba pertama kali. Dari hasi l lompatannya, ternyata anjing berhasil melompat setinggi empat kali tinggi tubuhnya. Berikutnya adalah giliran si belalang. Lompatan belalang hanya setinggi setengah dari
lompatan anjing, namun ketinggian lompatan tersebut ternyata setara dengan empat puluh kali tinggi tubuhnya. Dan belalang pun menjadi pemenang untuk lomba yang kedua ini. Kali ini anjing menghampiri belalang dengan rasa kagum. "Hebat. Kamu menjadi pemenang untuk perlombaan kedua ini. Tapi pemenangnya belum ada. Kita masih harus mengadakan lomba ketiga", kata si anjing. "Tidak perlu", jawab si belalang. "Karena pada dasarnya pemenang dari setiap perlombaan yang kita adakan adalah mereka yang menentukan standard perlombaannya. Pada saat lomba pertama kamu yang menentukan standard perlombaannya dan kamu yang menang. Demikian pula lomba kedua saya yang menentukan, saya pula yang menang.

INTINYA ADALAH, SETIAP DARI KITA MEMPUNYAI POTENSI DAN STANDARD YANG BERBEDA TENTANG KEMENANGAN. ADALAH TIDAK BIJAKSANA MEMBANDINGKAN POTENSI KITA DENGAN YANG LAIN.

KEMENANGAN SEJATI ADALAH KETIKA DENGAN POTENSI YANG KITA MILIKI, KITA BISA MELAMPAUI STANDARD DIRI KITA SENDIRI.

REFLEKSI :
Seberapa tinggikah kita `melompat' ?
Dalam kehidupan, seringkali tanpa sadar kita mencoba membandingkan kemajuan dan perkembangan diri kita dengan standard orang lain. Membandingkan pendapatan kita dengan orang lain, pekerjaan kita dengan pekerjaan orang lain, salary kita dengan salary orang lain, barang-barang yang kita miliki dengan barang orang lain, kesuksesan yang kita miliki dengan kesuksesan orang lain, karir kita dengan karir orang lain dlsb...

Dan seringkali lebih banyak kekecewaan daripada kebahagiaan yang didapat. Mengapa ? Karena kita masing-masing dilahirkan dengan potensi yang berbeda, dengan bakat yang berbeda, dalam lingkungan yang berbeda, dan cara pandang yang berbeda tentang kehidupan.

Cara yang tepat untuk mengukur seberapa jauh diri kita telah berkembang dan maju, adalah membandingkan diri kita saat ini dengan diri kita dimasa lalu.

Apakah Kita hari ini lebih kaya dibanding setahun yang lalu ? Apakah Kita hari ini lebih bisa mengontrol emosi dibanding bulan lalu ? Apakah Kita hari ini lebih sehat dibanding kemarin ? Apakah Kita hari ini lebih bijaksana dibanding setahun yang lalu ?

Kemenangan sejati bukanlah kemenangan atas orang lain, namun kemenangan atas diri sendiri.

Mari kita buat diri kita hari ini selalu lebih baik dari hari kemarin.