Kamis, 26 Februari 2009

RAHASIA SI UNTUNG

Kita semua pasti kenal tokoh si Untung di komik Donal Bebek. Berlawanan dengan Donal yang selalu sial. Si Untung ini dikisahkan untung terus. Ada saja keberuntungan yang selalu menghampiri tokoh bebek yang di Amerika bernama asli Gladstone ini. Betapa enaknya hidup si Untung. Pemalas, tidak pernah bekerja, tapi selalu lebih untung dari Donal. Jika Untung dan Donal berjalan bersama, yang tiba-tiba menemukan sekeping uang dijalan, pastilah itu si Untung. Jika Anda juga ingin selalu beruntung seperti si Untung, dont worry, ternyata beruntung itu ada ilmunya.

Professor Richard Wiseman dari University of Hertfordshire Inggris, mencoba meneliti hal-hal yang membedakan orang2 beruntung dengan yang sial. Wiseman merekrut sekelompok orang yang merasa hidupnya selalu untung, dan sekelompok lain yang hidupnya selalu sial. Memang kesan nya seperti main-main, bagaimana mungkin keberuntungan bisa diteliti. Namun ternyata memang orang yang beruntung bertindak berbeda dengan mereka yang sial.

Misalnya, dalam salah satu penelitian the Luck Project ini, Wiseman memberikan tugas untuk menghitung berapa jumlah foto dalam koran yang dibagikan kepada dua kelompok tadi. Orang2 dari kelompok sial memerlukan waktu rata-rata 2 menit untuk menyelesaikan tugas ini. Sementara mereka dari kelompok si Untung hanya perlu beberapa detik saja! Lho kok bisa?

Ya, karena sebelumnya pada halaman ke dua Wiseman telah meletakkan tulisan yang tidak kecil berbunyi “berhenti menghitung sekarang! ada 43 gambar di koran ini”. Kelompol sial melewatkan tulisan ini ketika asyik menghitung gambar. Bahkan, lebih iseng lagi, di tengah2 koran, Wiseman menaruh pesan lain yang bunyinya: “berhenti menghitung sekarang dan bilang ke peneliti Anda menemukan ini, dan menangkan $250!” Lagi-lagi kelompok sial melewatkan pesan tadi! Memang benar2 sial.

Singkatnya, dari penelitian yang diklaimnya “scientific” ini, Wiseman menemukan 4 faktor yang membedakan mereka yang beruntung dari yang sial:

1. Sikap terhadap peluang.
Orang beruntung ternyata memang lebih terbuka terhadap peluang. Mereka lebih peka terhadap adanya peluang, pandai menciptakan peluang, dan bertindak ketika peluang datang. Bagaimana hal ini dimungkinkan?
Ternyata orang-orang yg beruntung memiliki sikap yang lebih rileks dan terbuka terhadap pengalaman-pengalam an baru. Mereka lebih terbuka terhadap interaksi dengan orang-orang yang baru dikenal, dan menciptakan jaringan-jaringan sosial baru. Orang yang sial lebih tegang sehingga tertutup terhadap kemungkinan- kemungkinan baru.

Sebagai contoh, ketika Barnett Helzberg seorang pemilik toko permata di New York hendak menjual toko permata nya, tanpa disengaja sewaktu berjalan di depan Plaza Hotel, dia mendengar seorang wanita memanggil pria di sebelahnya: “Mr. Buffet!” Hanya kejadian sekilas yang mungkin akan dilewatkan kebanyakan orang yang kurang beruntung. Tapi Helzber berpikir lain. Ia berpikir jika pria di sebelahnya ternyata adalah Warren Buffet, salah seorang investor terbesar di Amerika, maka dia berpeluang menawarkan jaringan toko permata nya. Maka Helzberg segera menyapa pria di sebelahnya, dan betul ternyata dia adalah Warren Buffet. Perkenalan pun terjadi dan Helzberg yang sebelumnya sama sekali tidak mengenal Warren Buffet, berhasil menawarkan bisnisnya secara langsung kepada Buffet, face to face. Setahun kemudian Buffet setuju membeli jaringan toko permata milik Helzberg. Betul-betul beruntung.

2. Menggunakan intuisi dalam membuat keputusan.
Orang yang beruntung ternyata lebih mengandalkan intuisi daripada logika. Keputusan-keputusan penting yang dilakukan oleh orang beruntung ternyata sebagian besar dilakukan atas dasar bisikan “hati nurani” (intuisi) daripada hasil otak-atik angka yang canggih. Angka-angka akan sangat membantu, tapi final decision umumnya dari “gut feeling”. Yang barangkali sulit bagi orang yang sial adalah, bisikan hati nurani tadi akan sulit kita dengar jika otak kita pusing dengan penalaran yang tak berkesudahan. Makanya orang beruntung umumnya memiliki metoda untuk mempertajam intuisi mereka, misalnya melalui meditasi yang teratur. Pada kondisi mental yang tenang, dan pikiran yang jernih, intuisi akan lebih mudah diakses. Dan makin sering digunakan, intuisi kita juga akan semakin tajam.

Banyak teman saya yang bertanya, “mendengarkan intuisi” itu bagaimana? Apakah tiba2 ada suara yang terdengar menyuruh kita melakukan sesuatu? Wah, kalau pengalaman saya tidak seperti itu. Malah kalau tiba2 mendengar suara yg tidak ketahuan sumbernya, bisa2 saya jatuh pingsan.

Karena ini subyektif, mungkin saja ada orang yang beneran denger suara.

Tapi kalau pengalaman saya, sesungguhnya intuisi itu sering muncul dalam berbagai bentuk, misalnya:
- Isyarat dari badan. Anda pasti sering mengalami. “Gue kok tiba2 deg-deg an ya, mau dapet rejeki kali”, semacam itu. Badan kita sesungguhnya sering memberi isyarat2 tertentu yang harus Anda maknakan. Misalnya Anda kok tiba2 meriang kalau mau dapet deal gede, ya diwaspadai saja kalau tiba2 meriang lagi.
- Isyarat dari perasaan. Tiba-tiba saja Anda merasakan sesuatu yang lain ketika sedang melihat atau melakukan sesuatu. Ini yang pernah saya alami. Contohnya, waktu saya masih kuliah, saya suka merasa tiba-tiba excited setiap kali melintasi kantor perusahaan tertentu. Beberapa tahun kemudian saya ternyata bekerja di kantor tersebut. Ini masih terjadi untuk beberapa hal lain.

3. Selalu berharap kebaikan akan datang.
Orang yang beruntung ternyata selalu ge-er terhadap kehidupan. Selalu berprasangka baik bahwa kebaikan akan datang kepadanya. Dengan sikap mental yang demikian, mereka lebih tahan terhadap ujian yang menimpa mereka, dan akan lebih positif dalam berinteraksi dengan orang lain. Coba saja Anda lakukan tes sendiri secara sederhana, tanya orang sukses yang Anda kenal, bagaimana prospek bisnis kedepan. Pasti mereka akan menceritakan optimisme dan harapan.

4. Mengubah hal yang buruk menjadi baik.
Orang-orang beruntung sangat pandai menghadapi situasi buruk dan merubahnya menjadi kebaikan. Bagi mereka setiap situasi selalu ada sisi baiknya. Dalam salah satu tes nya Prof Wiseman meminta peserta untuk membayangkan sedang pergi ke bank dan tiba-tiba bank tersebut diserbu kawanan perampok bersenjata. Dan peserta diminta mengutarakan reaksi mereka. Reaksi orang dari kelompok sial umunya adalah: “wah sial bener ada di tengah2 perampokan begitu”. Sementara reaksi orang beruntung, misalnya adalah: “untung saya ada disana, saya bisa menuliskan pengalaman saya untuk media dan dapet duit”. Apapun situasinya orang yg beruntung pokoknya untung terus. Mereka dengan cepat mampu beradaptasi dengan situasi buruk dan merubahnya menjadi keberuntungan.

Sekolah Keberuntungan.
Bagi mereka yang kurang beruntung, Prof Wiseman bahkan membuka Luck School. Latihan yang diberikan Wiseman untuk orang2 semacam itu adalah dengan membuat “Luck Diary”, buku harian keberuntungan. Setiap hari, peserta harus mencatat hal-hal positif atau keberuntungan yang terjadi.

Mereka dilarang keras menuliskan kesialan mereka. Awalnya mungkin sulit, tapi begitu mereka bisa menuliskan satu keberuntungan, besok-besoknya akan semakin mudah dan semakin banyak keberuntungan yg mereka tuliskan.

Dan ketika mereka melihat beberapa hari kebelakang Lucky Diary mereka, mereka semakin sadar betapa beruntungnya mereka. Dan sesuai prinsip “law of attraction”, semakin mereka memikirkan betapa mereka beruntung, maka semakin banyak lagi lucky events yang datang pada hidup mereka.

Jadi, sesederhana itu rahasia si Untung. Ternyata semua orang juga bisa beruntung.
Siap mulai menjadi si Untung?
Kampung Duka Vs Kampung Suka

(Cerita ini diilhami oleh sebuah buku yang bertutur tentang hal yang sama, disajikan kembali dengan versi yang berbeda oleh penulis)

Suatu saat, Tuhan membentuk sekumpulan makhluk baru, species baru ini merupakan turunan dari Homo Sapiens (manusia jaman sekarang), yang membedakannya dengan postur kita saat ini adalah bahwa mulut dari makhluk ini tidak terletak di depan, tapi di belakang kepalanya.

Lalu, Tuhan meletakkan makhluk ciptaanNya itu ke dalam sebuah perkampungan dengan kakayaan alam yang berlimpah, dan membiarkan mereka beranak-pinak di sana. Dan setelahnya, alam mulai bekerjasama dengan waktu membentuk ekosistemnya.

Melalui Seleksi alam (natural Selection) yang memakan waktu yang cukup panjang akhirnya terbentuk dua kelompok utama yang menempati dua daerah yang berbeda. Kelompok pertama menamakan dirinya Kampung Duka, dan kelompok yang lain menamakan dirinya Kampung Suka.

Kampung Duka
Sesuai dengan namanya, penduduk di sana merasa hidupnya selalu dirundung duka, wajah sedih menjadi hiasan keseharian dari penduduk di sana, ditambah dengan tubuhnya yang kurus seperti kekurangan makanan, padahal kekayaan alam Kampung Duka berlimpah ruah.

Kampung Suka
Walau dilahirkan dari species yang sama, dari keturunan yang sama, bahkan dengan kekayaan alam yang lebih minim jika dibandingkan dengan Kampung Duka, anehnya penduduk Kampung Suka selalu tampak bahagia, wajah ceriah menjadi hiasan keseharian penduduk di sana. Mereka tampak gemuk-gemuk dan sehat. Di hampir setiap sudut pemukiman tersebut ditemukan cermin-cermin besar yang ditata dengan rapi dan apik.

Suatu saat, Sang Malaikat penjaga Kampung itu datang mencari tahu apa yang sebenarnya yang terjadi dengan species baru itu, bagaimana kedua kampung itu terbentuk dan kenapa kampung-kampung itu terbentuk? padahal ketika Tuhan menciptakan species itu, Tuhan tidak pernah membeda-bedakan, Tuhan menciptakan satu makhluk yang sama di lingkungan yang sama, pada waktu yang sama.

Di Kampung Duka
Penduduk kampung itu segera berkumpul ketika mengetahui Malaikat mereka datang, mereka tanpa dikomandani mulai menyampaikan keluhan-keluhan mereka, mereka mengatakan bahwa Tuhan tidak adil, karena memberikan banyak kekayaan alam tapi mulut mereka di belakang kepala, sehingga untuk makan saja mereka mengalami banyak kesulitan ( pandangan mata mereka tak dapat menjangkaunya), tak mengherankan jika mereka kurus-kurus. Mereka terus mengeluh tentang tanah yang terlalu keras, matahari yang terlalu terik, hujan yang begitu deras, bahkan tanaman yang terlalu lama berbuah juga menjadi salah satu keluhan mereka.

Di Kampung Suka
Penduduk kampung itu juga segera berkumpul ketika mengetahui sang Malaikat mereka datang, mereka menyambut sang Malaikat dengan suka cita, dengan rasa syukur. Mereka mengucapkan terima kasih atas apa yang diberikan Tuhan pada mereka. Walau dengan mulut yang terletak di belakang kepala, mereka yakin Tuhan punya rencana indah untuk mereka. Ternyata benar, dengan keadaan itu, mereka bisa bekerjasama, saling menyuapi satu sama lain. Waktu makan menjadi moment yang indah karena kebersamaan. Walau dengan kondisi alam yang minim kekayaannya, mereka hidup dengan sejahtera dan sehat, mereka tak pernah mengeluh, tapi mencari solusi untuk menyelesaikan problem yang ada.

Banyaknya cermin di hampir setiap sudut kampung mejadi salah satu contoh cara mereka mengatasi kendala yang ada. (Katanya itu digunakan kalau sewaktu-waktu berada dalam kesendirian)

Setelah mengunjungi kedua Kampung itu, Sang Malaikat itu kembali menemui Tuhan, ia melaporkan bahwa semua itu terjadi karena “PILIHAN” mereka sendiri.

Lalu saya kembali teringat dengan tempat parkir mobil di kompleks perumahan kami (yang sebenarnya adalah jalan akses kompleks tersebut), ukuran jalan tersebut hanya sekitar 6 meter, hanya cukup untuk dua mobil saling berselisihan, di sebelah kiri dan kanan jalan itu adalah rumah kami tanpa pekarangan, jadi bisa dipastikan jika setiap rumah memiliki mobil, maka jalan tersebut segera penuh dengan deretan roda empat itu. (sayangnya, kenyataannya adalah demikian, sehingga sering kali kami harus meminta pemilik mobil untuk mengeser mobilnya untuk mengeluarkan mobil yang kebetulan berada di dalam jalan buntu tersebut bahkan lebih sering harus mendorongnya sendiri). Dan kenyataan ini membuat benturan sering terjadi, percecokan pagi sering tak terhindari.

Pada gilirannya, saya juga menghadapi masalah yang sama (karena memang tinggal di kompeks yang sama), hanya saja, saya memilih untuk menikmatinya, mendorong maju mundur roda empat yang ada, seperti main sebuah puzzle yang memakan waktu lebih dari lima belas menit, tapi itu adalah kenyataan yang harus dihadapi sebelum saya pindah dari kompeks tersebut.

Pegangannya sederhana, “Jika kita bisa mengubah keadaan, maka ubahlah keadaan itu sesuai keinginan kita. Jika tidak, maka terimalah keadaan tersebut, cari solusi untuk membuatnya nyaman”
Saya bisa saja memilih untuk marah karena jalan keluar mobil saya harus terbendung, tapi tidak saya lakukan, karena hal ini akan saya hadapi setiap hari sebelum saya melangkah keluar dari kompeks tersebut, demikian juga semua tetangga kami itu.

Saya memilih untuk tinggal di Kampung Suka, karena pada dasarnya kami semua menghadapi hal yang sama, kita juga dibakar terik matahari yang sama, hanya pilihan kita yang mungkin berbeda.
Dan saya memilihnya sebagai olah raga di pagi hari, di antara belantara Kampung Suka.
Bagaimana dengan Anda?